Tulisan ini hanya salah satu narasi kecil yang tidak perlu dianggap serius dan biasa saja. Setidaknya, saya berpendapat dengan analisis interpretatif ini yang bisa saja disetujui ataupun problematik. Saya hanya mengajukan beberapa alternatif terminologi yang mungkin kedepannya dapat dijadikan referensi bagi para seniman jalanan.
Beberapa waktu lalu, kontroversi mural figur menyerupai Presiden Jokowi dengan blok persegi hitam di sepanjang wajah bagian mata bertuliskan 404: Not Found mengundang polemik. Setidaknya Satpol PP Kota Tangerang meniban mural tersebut dengan cat hitam, walaupun menurut saya mural ini bagus. Yang setuju, menganggap mural tersebut memuat kritik simbolik dan merasa terwakilkan. Yang tak setuju, mempermasalahkan legalitas pembuatan karya mural ini.
“Setiap orang yang mencoret, menulis, menggambar, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara […]”
Bahasan ini pun terbagi 2; Pertama mempertanyakan legalitas pembuatan mural tersebut, baik itu permasalahan izin, atau apakah itu sebuah bentuk vandalisme?. Kedua, tentang konten dalam mural tersebut dengan muatan kritiknya yang menyiratkan Presiden Jokowi sebagai simbol atau lambang negara—dan memang kita masih berkutat pada selebrasi, seremonial, dan simbolisasi yang tidak substansial—tidak boleh direndahkan di muka publik. Artinya kembali pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam Pasal tersebut dikatakan, “Setiap orang yang mencoret, menulis, menggambar, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara […]”. Sanksi terhadap larangan ini terdapat dalam Pasal 68, dengan ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).1
Kembali pada pertanyaan klasik, apakah tindakan ini adalah vandalisme? Apakah tindakan ini memang memerlukan izin? Begitulah kira-kira gambaran negara melihat mural ini dan mungkin mural dan grafiti serupa yang secara khusus melakukan kritik kepada pemerintah yang kemudian dibalas dengan menimpa dengan cat lainnya. Sayangnya, pemerintah menilai ini sebagai penghinaan kepada lembaga negara.
Jika pada tahun 2013 hanya ada aksi tiban-meniban dengan cat antara seniman dan Satpol PP (sebagai wakil pemerintah), kini tahun 2021, selain ada aksi tiban-meniban dengan cat, ada aksi penangkapan seniman oleh polisi yang dinilai sebagai pelanggar hukum atas pasal penghinaan lambang negara.
Jika kita kembali pada tahun 2013 ketika Jokowi masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, ada sebuah grafiti JOKOWI2, dengan tagging yang mengitarinya seperti; “Jangan Dihapus!!! By Jokowi”, “..yang hapus ta’ pecat!!!”, “Don’t Erase!”, semacam notabene administrasi dalam surat-menyurat. Grafiti ini sempat ramai karena Satpol PP DKI Jakarta melakukan penghapusan dengan menimpa karya itu dengan cat lain. Setelah ramai, saya kurang mengikuti lebih jauh bagaimana nasib karya tersebut. Dengan mengingat maksud dari pembuatan grafiti itu , hal ini bisa menjadi pemicu dalam pembuatan karya seni jalanan di ruang publik kedepannya. Misal dengan membubuhkan “tanda tangan” Jokowi sebagai bagian dari karya mereka untuk menunjukan bahwa karya ini sudah disetujui olehnya. Bagi saya, ini adalah penanda atau artefak sejarah yang terdokumentasi secara digital dengan baik. ahwa insiden serupa pernah terjadi dengan target figur yang sama, namun berbeda perlakuan kepada objek dan senimannya.
Jika pada tahun 2013 hanya ada aksi tiban-meniban dengan cat antara seniman dan Satpol PP (sebagai wakil pemerintah), kini tahun 2021, selain ada aksi tiban-meniban dengan cat, ada aksi penangkapan seniman oleh polisi yang dinilai sebagai pelanggar hukum atas pasal penghinaan lambang negara. Mengutip Randall Mason3) dengan melihat mural dan grafiti sebagai nilai-nilai warisan budaya dalam suatu peradaban, kita bisa melihat suatu nilai budaya dari hasil interaksi antara artefak (dalam hal ini mural JOKOWI tahun 2013) dengan konteksnya, dan memang mereka tidak berdiri sendiri. Dengan demikian, nilai hanya dapat dipahami dengan mengacu pada konteks sosial, sejarah, dan bahkan spasial—melalui lensa siapa yang mendefinisikan dan mengartikulasikan nilai, kenapa sekarang, dan kenapa di sini?.
Sebagai hasil dari interaksi antara karya mural kontroversial 404 Not Found dan konteks pada masa sulit ini, rasanya terbilang tepat karya-karya tersebut mewakili pesan dari rakyatnya (termasuk saya), bahwa saat ini Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Kondisinya bahkan tidak berbeda jauh ketika para pelukis dan penyair era jelang kemerdekaan Indonesia, di mana mereka menerjemahkan perasaan masyarakat yang bergolak demi mengobarkan semangat para pejuang kemerdekaan saat itu.
Mengutip dari datatracker.ietf.org4 tentang Semantics and Content Bagian 6.5.4. 404 Not Found, pesan galat HTTP 404, 404 Not Found, 404, 404, Page Not Found atau File Not Found adalah respon kode standar Hypertext Transfer Protocol (HTTP) dalam komunikasi jaringan komputer untuk menunjukkan bahwa mesin pencari berkomunikasi dengan server, tetapi server tidak dapat menemukan apa yang diminta, baik hilang atau rusak sementara atau permanen. Terminologi ini juga “diakui” sebagai salah satu yang paling dikenal di World Wide Web (Waring Wera Wanua, dalam padanan Bahasa Indonesia—ed). Saya akan lebih mengulas dialog antara bahasa teknologi dan mural di dunia nyata dengan para khalayaknya, yaitu keseharian kita dengan gawai dan dunia internet.
Penggunaan terminologi teknologi yang dibuat melalui medium mural dirasa tidak sedikit dan telah dilakukan sejak lama bahkan seniman jalanan terkenal seperti Banksy pada karyanya Barcode (atau Barcode Leopard Tiger5) dan This Site Contains Blocked Messages.
Sebagai pegiat teknologi yang kesehariannya adalah menerjemahkan informasi teknis menjadi bahasa yang mudah dipahami, saya rasa 404 Not Found memang tidak perlu digunakan kembali. Karena kompleksitas dan kerumitan bahasa yang digunakan merupakan bahasa teknis pemrograman yang ditujukan untuk sesama pemrogram, bukan ditujukan pada khalayak umum. Namun bagi para pengguna yang sudah bertahun-tahun menemui pesan tersebut—bahkan pengguna Internet yang tidak terlalu paham bahasa Inggris sekalipun—, mereka paham akan pesan tersebut, lalu akan melakukan refresh, memeriksa kelengkapan tautan ataupun tidak melanjutkan aktivitas pencariannya lagi, dan mencari alternatif lain.
Contoh lainnya adalah, apakah saya akan menggunakan kata Ulasan atau Review? Home atau Beranda?. Kata mana yang lebih lazim dan mudah dipahami bagi mereka. Terakhir, jika memang mereka paham, apakah target khalayak saya adalah mereka yang jarang menggunakan Internet dan gawai?
Memperkenalkan terminologi-terminologi teknologi, menurut saya pribadi, cukup rumit khususnya pada generasi yang tidak terbiasa dengan Internet dan gawai. Misalnya apakah saya akan menggunakan kata Login atau Masuk ketika saya membuat atau memberikan saran tombol di user interface yang sedang dibuat? Dan apakah mereka paham maksud dari kata-kata tersebut—Terlebih dengan terjemahan atau padanan istilah tersebut dalam Bahasa Indonesia—ed. Contoh lainnya adalah, apakah saya akan menggunakan kata Ulasan atau Review? Home atau Beranda?. Kata mana yang lebih lazim dan mudah dipahami bagi mereka. Terakhir, jika memang mereka paham, apakah target khalayak saya adalah mereka yang jarang menggunakan Internet dan gawai?
Mungkin sub-judul di atas yang mewakili keresahan saya. Dalam bahasa teknologi, kami “diharamkan” untuk menggunakan bahasa yang terlalu teknis untuk memudahkan pengguna memahami apa yang kita ingin sampaikan kepada mereka. Atau mungkin diperlukan masa edukasi agar terminologi tersebut bisa dipahami, dan bisa sering digunakan. Seperti dalam beberapa waktu ke belakang, kita menggunakan tindakan menyalin dengan kata copy-paste, padahal terminologi tersebut biasa digunakan dalam aktivitas menyalin di lembar kerja Microsoft Word, Excel, dan lain sebagainya.
Mengutip sebuah studi yang dilakukan Pew Research Institute6, pada tahun 2019, ada 73% orang berusia di atas 65 tahun yang menggunakan internet, dan mereka menggunakannya untuk berbagai macam hal. Dalam sebuah observasi78 yang dilakukan Don Norman, ada banyak kemungkinan masalah, dan bisa dianggap gagal mempertimbangkan dalam desain interaksi pada user interface di website. Hal itu dapat dilihat dalam teks yang tidak terbaca, suara yang mengagetkan bagi pengguna, objek yang kecil, ataupun fitur lain yang membuat dunia maya tidak ramah bagi pengguna yang lebih tua, apalagi ditambah dengan terminologi yang teknis dan kompleks seperti page, homepage, website, dan web.
Begitu juga dengan pesan 404 Not Found, toh itu pun hanya rentang numerik untuk menentukan kategori kesalahan atau sebagai penanda (identifier code), jadi tidak perlu dibesar-besarkan dan kode tersebut ga penting-penting amat.
Penggunaan bahasa dalam menginformasikan pesan error atau galat telah diatur dalam user interface design guidelines9, salah satunya yaitu membantu pengguna dalam memahami bahasa yang lazim digunakan dan mudah dipahami dari dunia nyata, serta penggunaan pesan galat yang diramu dengan bahasa sederhana10. Melihat hal ini, ketika kita ingin menggunakan terminologi yang teknis, maka kita harus memahami khalayaknya terlebih dahulu, lalu menyesuaikan ke bahasa mereka.
Kembali kepada bahasan mural figur menyerupai Jokowi dan pesan 404 Not Found, saya kira dengan adanya asosiasi gambar dengan pesan tersebut di masa pandemi ini, “dirasa” sebagai kritik yang tidak membangun dan tendensius. Sejujurnya, saya kurang paham apa yang dimaknai para pemangku kebijakan dari mural tersebut
Apakah memang muatan kritiknya yang terlalu tidak bermoral?
Apakah mural tersebut pantas dianggap sebagai vandalisme karena tidak adanya izin?
Apakah mereka paham terkait terminologi 404 Not Found yang digunakan tersebut?
Bagi saya, mural tersebut patut diapresiasi dan memuat kritik yang tepat pada kondisi sulit saat ini, setidaknya para pemangku kebijakan juga bersemangat untuk bekerja lebih baik lagi meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Begitu juga dengan pesan 404 Not Found, toh itu pun hanya rentang numerik untuk menentukan kategori kesalahan atau sebagai penanda (identifier code), jadi tidak perlu dibesar-besarkan dan kode tersebut ga penting-penting amat.
Jadi saran saya, untuk para seniman jalanan yang mau coba-coba menggunakan istilah-istilah perkodingan sebaiknya pilihlah kode yang tepat (setidaknya ada 20 kode 404) misalnya:
Atau bisa juga pakai penggunaan pesan error yang lain seperti
[+]
⇡1 | https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38661/uu-no-24-tahun-2009 |
---|---|
⇡2 | https://visualjalanan.org/web/tembok-jokowi/ |
⇡3 | Randall Mason and Marta de la Torre, Assessing the Values of Cultural Heritage, ed. Marta de la Torre (Los Angeles, CA: The Getty Conservation Institute, 2002 |
⇡4 | https://datatracker.ietf.org/doc/html/rfc7231#section-6.5.4 |
⇡5 | https://hexagongallery.com/catalog/artist/banksy/barcode/ |
⇡6 | https://www.pewinternet.org/fact-sheet/internet-broadband/ |
⇡7 | https://www.fastcompany.com/90338379/i-wrote-the-book-on-user-friendly-design-what-i-see-today-horrifies-me |
⇡8 | https://www.nngroup.com/articles/define-techy-words-old-users/ |
⇡9 | https://www.interaction-design.org/literature/article/user-interface-design-guidelines-10-rules-of-thumb |
⇡10 | https://www.nngroup.com/articles/plain-language-experts/ |