Sewaktu saya masih Sekolah Dasar, rasanya seru dan menyenangkan punya kekuatan super, bahkan pernah mengira saya mungkin punya kekuatan telekinesis–yang bisa menggerakan benda-benda tanpa menyentuhnya–tapi tidak diasah saja. Semakin lama, saya tahu bahwa itu cerita fiksi yang membuahkan harapan-harapan bagi umat manusia dan menyederhanakan nilai dan norma yang baik-buruk bagi anak-anak tentunya. Namun semakin saya tumbuh, persepsi akan superhero yang memiliki kekuatan super dan tidak terkalahkan itu makin kurang bernilai di mata saya. Ini mungkin karena mereka terlalu jago dan sangat tidak realistis. Bahkan, saya lebih melihat Spiderman dan Batman jauh lebih mungkin ada dan lebih manusiawi melalui kisah-kisah manusia biasa yang ditopang teknologi canggih ataupun kelainan genetik. Kini semakin ke sini, saya percaya bahwa untuk menjadi seorang pahlawan memang tidak perlu teknologi canggih atau menunggu terkena radiasi nuklir hingga mengubah genetik seseorang, tapi memerlukan mentalitas keberanian untuk melawan penindasan serta konsistensi. Munir, Marsinah, aksi Kamisan, aksi petani Kendeng, dan aksi-aksi lainnya mengubah pandangan saya tentang apa itu “pahlawan”.
Pengenalan nilai dan norma yang baik dan buruk kepada anak menjadi tugas orang tua. Dalam hal ini, keberadaan orang tua harus hadir dalam memberikan perhatian dan kasih sayang untuk menciptakan keterikatan dengan anak. Dalam pengendalian sosial yang mengacu pada Control Theory of Delinquency (Teori Pengendalian Kenakalan Anak) yang dikemukakan Travis Hirschi (1969), ia menyebutkan bahwa ada 4 aspek untuk menciptakan pengendalian sosial terhadap kenakalan anak, yaitu keterikatan (attachment), kesanggupan (commitment), keterlibatan (involvement), dan kepercayaan (belief). Menurutnya, keselarasan tingkah laku seseorang dengan nilai dan norma masyarakat adalah hasil dari keterikatan individu dengan organisasi yang paling dekat dan intim–misalnya keterikatan pada orang tua atau keluarga–dan ini menjadi faktor determinan dalam pengendalian diri. Kalau keterikatan ini sudah terbentuk, maka anak akan peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Tugas ini tidak mudah dilakukan oleh orang tua. Maka dari itu, perlu ekosistem yang baik pada institusi pendidikan (tidak hanya sekolah formal) maupun lingkungan, serta tontonan dan bacaan yang baik. Lingkungan yang ramah anak menjadi salah satu prioritas dalam proses pengenalan tersebut. Pengenalan nilai dan norma melalui superhero menjadi salah satu cara dalam menyederhanakan dan tentu membantu pengenalan–terlepas dari aksi kekerasan yang diperlihatkan dalam melawan keburukan dan kejahatan.
Kota Bandung menjadi salah satu kota yang dinilai memiliki banyak taman yang difungsikan sebagai tempat rekreasi yang ramah bagi anak. Ide untuk membuat serta merevitalisasi taman-taman kota ini diinisiasi oleh pemerintah daerah Kota Bandung yang dipimpin Ridwan Kamil pada tahun 2013 – 2018. Mengutip Tribun, setidaknya ada 9 taman yang diresmikan guna membuka ruang terbuka hijau lebih banyak di Kota Bandung.1 Salah satu taman itu bernama Taman Superhero yang direvitalisasi dan dibuka kembali pada tahun 2015, setelah sebelumnya bernama Taman Anggrek.2 Seperti namanya, konsep Taman Superhero harapannya adalah taman bermain anak sekaligus menghibur anak-anak melalui tokoh superhero. Taman yang memiliki luas 600 meter persegi ini dibangun dengan APBD Kota Bandung sebesar Rp 200 juta. Mengutip travelspromo.com, terdapat sejumlah superhero yang telah menjadi bagian dari budaya pop, yaitu Spiderman, Iron man, Batman, Superman, Gatotkaca, dan Gundala.3
Menariknya setelah revitalisasi, taman ini menjadi kurang terawat dengan adanya pemangkasan biaya dan mengalihkannya untuk penanganan pandemi.4 Dengan kurangnya perhatian khusus terhadap perawatan Taman Superhero di Bandung, seniman kolektif bernama Studio Pancaroba5 menginisiasi penggantian signage yang baru. Signage merupakan desain atau penggunaan tanda dan simbol untuk mengkomunikasikan sebuah pesan, seperti ‘dilarang berhenti’, ‘dilarang parkir’, dan lain sebagainya. Namun, penggantian signage yang dilakukan Studio Pancaroba ini juga mengubah pesan yang ada sebelumnya hingga menjadi signage Superhero Indonesia versi mereka.
Seperti gambar yang ditampilkan di atas ini, signage superhero Indonesia versi Studio Pancaroba adalah dengan menampilkan linimasa pelanggaran HAM yang terjadi pada bulan September di masa lalu. Pemasangan signage ini juga bertepatan dengan tanggal kematian Munir yang terjadi pada 7 September. Pada hari Kamis, 9 September 2021, saya berkesempatan mewawancarai Studio Pancaroba dan membicarakan karya signage Superhero Indonesia tersebut. Menurut pengakuannya, penggantian signage ini sudah direncanakan akhir Agustus atau awal bulan September. Aksi ini berangkat dari keresahannya terhadap taman-taman Kota Bandung yang kurang terawat dan ingin memberikan rasa penasaran kepada anak kecil–karena sebagian besar pengunjung adalah anak-anak dan orang tuanya. Hal ini kemudian akan berimbas pada sesi tanya-jawab terkait informasi sejarah yang diberikan pada signage itu. Ia pun mengaku bahwa teks dan penggunaan simbol pada signage tidak seram dan dihadirkan persuasif kepada orang tua juga. Pemilihan warna pun tidak ada yang hitam karena menurutnya akan memicu munculnya rasa takut. Ia pun turut menjelaskan perlunya edukasi serta mengingatkan kembali akan peristiwa-peristiwa sejarah pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, penindasan rakyat tidak bersalah dan aktivis lingkungan oleh negara hingga meregang nyawa, dan menurutnya para korban tersebut pantas diberi status superhero.
Bagi saya, pemilihan simbol signage ini juga menarik karena menggunakan emoji yang biasa kita gunakan dalam percakapan media sosial seperti:
Selain itu, penggunaan diksi “bund” dan “bunda” serta kalimat yang tidak kaku memudahkan saya pribadi untuk mencerna informasinya.
Sudah 3 tahunan saya tidak pernah buka Facebook. Namun beberapa bulan yang lalu, saya iseng mengunduh ulang dan membuka akun saya kembali, lalu beranda saya langsung disambut dengan meriah dengan tulisan pengingat di halaman paling atas “Your memories on Facebook. …, we care about you and the memories you share here. We thought you’d like to look back on this post from 3 years ago.”. Tentu dengan munculnya pengingat ini mengajak saya kembali membaurkan diri pada sejarah yang pernah saya buat 3 tahun lalu sebagai pengguna Facebook dan sebagai engagement.
Dalam prinsip hierarki visual6, penempatan urutan–misalnya dari yang paling atas ke paling bawah–menunjukan tingkat seberapa penting dalam menyalurkan informasi kepada pengguna. Prinsip ini dapat mengontrol persepsi pengguna dan mempengaruhi mereka kepada tindakan yang diinginkan oleh kita. Dalam penempatan “Your Memories on Facebook”, Facebook menaruh informasi tersebut paling atas, artinya pengguna diharapkan akan berfokus ke satu titik tersebut. Selain untuk menguatkan hierarki visual di Facebook, mereka menggunakan perilaku membaca manusia yang dipengaruhi secara kultural, misalnya pembaca Barat yang membaca dari kiri ke kanan menggunakan pola F dan Z. Maka dari itu, desainer Facebook menggunakan perilaku ini untuk mendesain dengan memperkuat pola alami ini, lalu mengarahkannya melalui jalur atau flow ke tujuan yang kita inginkan, atau bisa juga dengan menyediakan titik fokus bagi pengguna. Terakhir, menggunakan intensitas yang tinggi untuk mengenali bentuk ataupun teks akan lebih baik daripada mengingat karena berdasarkan perilaku pengguna, intensitas ini diperlukan untuk memperdaya dan memudahkan otak kita yang malas ini untuk mengenali daripada mengingat, tanpa mempertimbangkan maksud dari bentuk, warna, atau bahkan teks.
Data di dalam otak kita telah disimpan pada sekumpulan neuron, tapi sayangnya kita tidak tahu bagaimana dan di mana data tersebut disimpan atau bahkan dikodekan seperti ketika kita telah mengunduh suatu file dalam laptop, lalu menamai file tersebut dan menaruhnya ke dalam folder yang kita lupa di mana dan bahkan lupa namanya. Sebagian besar memori kita dan sebagian informasi yang kita dapatkan adalah visual, maka dari itu memori visual akan selalu menjadi perhatian dan pertimbangan desainer antarmuka7 di manapun dengan memanfaatkan perilaku dan kebiasaan otak kita. Perilaku dan kebiasaan otak inilah yang dapat disiasati dengan adanya teknologi; apa yang telah kita tulis dan apa yang kita hapus selalu tersimpan dalam suatu tempat bernama backend selama terhubung pada server–kecuali para engineer memilih untuk menghapusnya. Mereka adalah mesin yang bekerja di balik layar, tidak terlihat, dan tidak berinteraksi dengan pengguna langsung, tapi mereka menciptakan, mengintegrasikan, serta mengelola database seperti otak yang berfungsi sebagai pengolah aksi dan penghubung dengan database atau memori untuk menyimpan dan mengecek datanya.
Tentunya, cara kerja backend ini akan sangat membantu kita dalam memaksimalkan kinerja otak manusia dalam mengingat, terutama karena memori manusia pendek. Sebagian besar memori manusia beroperasi di luar kendali kita. Kita tidak bisa memilih dan menentukan untuk melupakan, apalagi memutuskan dengan tepat apa yang harus diambil dari pemandangan visual kita dan apa yang harus diabaikan.8 Informasi masuk ke sistem memori secara implisit atau tanpa usaha dan kesadaran.9 Informasi yang relevan dengan aktivitas kita saat ini dapat meresap ke dalam sistem memori kita dan meningkatan daya pengenalan (recognition) terhadap bentuk.
Pada proses pembuatan tulisan ini, saya beberapa kali melakukan kesalahan atau typo dalam penulisan kata “Wiji Tukul” dan “Marsineh”. Tapi menariknya adalah Google Docs–yang biasa saya gunakan untuk menulis–mengoreksi saya dengan memberikan garis merah di bawah kedua kata tersebut. Adanya keterhubungan Google Docs dengan server Internet memudahkan saya dalam menulis–jika terdapat salah ketik–karena backend membantu dan merespons aksi saya dengan memunculkan error sign seperti garis merah di bawah kata yang menurut mereka salah. Tanpa kita ketahui, kata “Wiji Thukul” dan “Marsinah” telah menjadi bagian dari data penting yang perlu dimunculkan ketika saya sedang menulis kata mereka. Bisa saya katakan bahwa bahkan Google Docs pun telah dirancang untuk tidak dikehendaki melupakan Munir dan Marsinah.
Munir Said Thalib yang merupakan seorang pejuang HAM tewas diracun di pesawat saat menuju Amsterdam pada 7 September 2004. Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan otoritas Belanda, ia meninggal karena racun arsenik. Kematian Munir yang belum jelas penyelesaiannya memicu gelombang kritik kepada negara. Setiap tanggal 7 September, selalu ada poster pengingat dengan gambar figur Munir atau mungkin bisa dibilang obituari atau berita kematian di jalanan dan bahkan di layar genggam kita. Aksi ini menjadi penanda bahwa kematian Munir tidak menyurutkan semangat penuntasan semua pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Namun tidak hanya poster Munir, adapun beberapa pejuang HAM yang telah tewas lainnya seperti Wiji Thukul, Marsinah, Salim Kancil, dan lainnya.
Ketika Munir meninggal, saya masih berada di Sekolah Dasar. Saat itu hampir semua TV menyiarkan beritanya karena kematiannya yang tidak wajar. Saya juga tidak mengerti apa itu HAM, apalagi tentang yang dilakukan oleh Munir. Tapi yang saya rasakan dan saya ingat, poster figurnya hampir ada di mana-mana hingga saat ini, bahkan seperti hidup di keseharian saya atau bisa juga dibilang kami tumbuh bersama. Memori dalam pengalaman melihat sosoknya di media manapun turut tumbuh dalam sejarah hidup saya. Hal ini berkembang menjadikan Munir sebagai seorang pejuang HAM bagi orang tertindas dalam ingatan saya. Kini ia tidak lagi asing, tapi juga menginspirasi bagi saya dan banyak orang lainnya dalam menuntut keadilan, serta kini kami mengenangnya sebagai sosok pahlawan yang memantik semangat para pejuang HAM dari segala penindasan. Ketika saya melihat poster figur ini di jalanan, ia akan selalu menjadi peringatan bagi saya dan mungkin banyak orang lainnya yang mengingatkan bahwa Indonesia masih belum baik-baik saja.
Menurut Maurice Halbwachs, memori adalah suatu pengalaman personal dan subjektif, tapi bisa juga menjadi memori kolektif dalam suatu tatanan masyarakat ataupun kelompok. Pemahaman mengenai masa lalu dapat mempengaruhi kesadaran kelompok walaupun perspektif berbeda-beda dalam memaknai memori kolektif kelompok misalnya dalam pemaknaan memori kelompok ketika melihat Patung atau Monumen Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia (HI) langsung berasosiasi pada sejarah masa lalu, walaupun mereka belum lahir pada pembuatan monumen tersebut, tapi berbeda ketika masuk dalam pemaknaan memori individu di mana ada yang mengenang ketika pertama kali ke Bundaran HI atau bisa juga kejadian-kejadian menyenangkan selama car free day pada hari Minggu. Usaha yang telah ditunjukan melalui aksi menolak lupa merupakan bagian dari menambahkan, mengingatkan, bahkan mengubah bentuk memori individu menjadi memori bersama (dalam Kusno, 2009)10 bagi kita yang telah hidup di tengah peristiwa sejarah tersebut berlangsung maupun generasi yang baru lahir dan berusaha mempelajari peristiwa sejarah.
Oleh karenanya, saya berpikir:
Sekitar 4 tahun lalu pukul 4 sore, saya sudah bawa payung ke seberang Istana Negara takut hujan. Bersama dengan teman, kami naik kereta dan berjalan kaki. Kalau tidak salah, mungkin aksi Kamisan saya yang ketiga atau empat–saya agak lupa. Seorang seniman performans bernama Hanif Alghifary dari 69 Performance Club menampilkan karyanya di seberang Istana Negara. Ia berkemeja hitam rapih, bercelana hitam bahan, dan bersepatu hitam berjongkok di atas kursi panjang sambil membuka payung hitamnya.11 Tidak lama berselang, ia juga sambil memegang selang air dan air mulai bercucuran deras di dalam payungnya. Padahal cuaca sore itu di kawasan Istana Negara tidak hujan ataupun mendung, tapi Hanif basah kuyup dan mampu bertahan hingga 20-30 menit sampai ia terjatuh. Karya performans-nya telah selesai 4 tahun lalu dan hanya dilakukan sekali, tapi memori saya dan mungkin hampir memori semua partisipan yang hadir saat itu tidak akan lupa. Pengalaman keruangan, kebisingan macet kendaraan, polusi, dan lelah mungkin bisa membawa kami pada saat itu memiliki memori kolektif yang sama dan pemaknaan yang sama pula.
Rasanya saya tidak patut dan tidak elok, jika berbicara rasa lelah. Aksi Kamisan sudah 14 tahun lebih dan tidak ada kepastian penyelesaiannya oleh negara, tapi para penyintas dan keluarga penyintas tetap konsisten dalam menuntut keadilan. Bagi banyak orang yang terbiasa melintas depan Istana Negara mungkin pengalaman yang biasa saja, bahkan acuh melihat aksi diam pada Kamis sore, tapi secara tidak sadar mereka telah mengenali beberapa simbol, yaitu payung hitam, pakaian hitam dan secara tidak sadar pula mereka juga tengah menambahkan, mengingatkan, bahkan mengubah bentuk memori mereka menjadi lebih mengerti dan paham akan sejarah pelanggaran HAM masa lampau.
Dari masa ke masa, uang seratus ribu rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia selalu bergambarkan figur sosok para proklamator, yaitu Soekarno dan Mohammad Hatta. Nilai uang seratus ribu rupiah menjadi nilai tertinggi di Indonesia yang dicetak di antara nilai mata uang lainnya–karena tidak ada nilai mata uang lebih dari itu. Kedua sosok pahlawan ini mungkin yang paling dekat dengan kita–kecuali lagi tidak punya uang pecahan seratus ribu rupiah– daripada sosok pahlawan lainnya, misalnya Patung Sudirman di Jalan Sudirman, Jakarta, ataupun Monumen Patung Diponegoro di Jalan Imam Bonjol. Semua pahlawan yang saya sebutkan tadi menjadi penanda bahwa bangsa dan negara menaruh hormat atas jasa yang diberikan dalam memajukan peradaban dari segala bentuk penindasan.
Tahun lalu di Kota Meksiko, monumen patung Christopher Columbus–yang merupakan navigator Italia dengan berlayar ke Amerika atas nama Spanyol pada tahun 1492–dihancurkan dan akan diganti dengan patung seorang perempuan pribumi untuk menghormati penduduk asli pada Oktober 2021 nanti. Mengutip New York Times12, langkah tersebut mengikuti seruan lama oleh kelompok penduduk asli Amerika yang berpendapat bahwa perjalanan Columbus menyebabkan genosida populasi pribumi di Amerika. Selain itu, keberadaan patungnya dapat dilihat sebagai simbol supremasi dan penindasan oleh kulit putih, bahkan ia pun dianggap sebagai bapak pendiri kolonialisme di Barat dan budak trans-Atlantik. Sehari berselang, salah satu monumen patung konfederasi terbesar di Amerika yakni Robert E. Lee dihapus atau diganti. Mengutip New York Times13, momen pengangkatan patung Lee menjadi emosional dan simbolis bagi Kota Richmond, Virginia, Amerika Serikat. Patung Lee didirikan pada tahun 1890, yang pertama dari enam monumen Konfederasi–simbol kekuatan kulit putih–di Monumen Avenue. Ini menjadi penanda bahwa peradaban telah berubah dan menjadi lebih baik atas dasar pembangunan serta penulisan sejarah bersama-sama.
Berkaca dari kedua peristiwa tersebut, sebuah tatanan masyarakat bisa berubah perspektifnya terhadap sejarah dari figur representatif melalui nalar dan kritik. Kita juga sebagai bangsa memerlukan waktu untuk saling mengedukasi satu sama lain tanpa menggurui, misalnya bagi orang yang tidak tahu Munir bisa kita suguhkan sejarahnya secara sederhana dan dimunculkan di ruang-ruang publik lebih masif lagi. Aksi heroiknya mungkin tidak dituturkan seheroik pahlawan-pahlawan sejarah zaman Revolusi, mungkin karena jarak waktu yang kejauhan dan kurang tahu amat atau memang sudah acuh pada kenyataan bahwa ada pahlawan pejuang HAM yang dirasa tidak berdampak langsung kepada kesehariannya.
Meski demikian, menurut saya, tanpa patung pun mereka yang tewas karena memperjuangkan HAM akan terus selamanya hidup di kehidupan kita–bisa di jalanan, di layar telepon genggam kita, atau bisa juga di backend media sosial –walaupun kasus pelanggaran HAM di Indonesia belum terlihat penuntasannya, apalagi masuk ke ruang-ruang diskusi di ruang makan dan yang paling intim. Rasa-rasanya, peradaban kita masih di situ-situ saja.
[+]